Selasa, 08 Maret 2011

Curhat Ariana, Akankah Jakarta Tenggelam?

Jakarta - Ada perasaan cemas, kuatir, dan galau dalam hatiku setiap kali hujan lebat yang disertai dengan angin kencang mengguyur kota Jakarta tiada henti. Masih terbayang dengan jelas dalam ingatanku, ketika Jakarta dilanda bencana banjir lima tahunan pada tahun 2002 dan 2007.


Berbagai pertanyaan berkecamuk di benak ini. Apakah Jakarta akan kembali mengalami bencana banjir pada tahun 2012 mendatang? Apakah Jakarta akan tenggelam? Apakah akan ada banjir kiriman dari wilayah sekitarnya? Berapa besar kerugian dari segi ekonomi akibat banjir lima tahunan? Berapa banyak kawasan di ibukota yang terendam banjir? Berapa banyak infrastruktur dan ruas jalan yang rusak dan harus diperbaiki? Berapa banyak warga ibukota yang menderita penyakit demam berdarah dan kulit, serta penyakit lainnya, usai banjir reda? Masih banyak lagi pertanyaan seputar banjir, yang ada di benak ini.

Kondisi ekonomi yang terhimpit, membuat sebagian masyarakat ibukota terpaksa membangun tempat tinggal di bantaran sungai. Bahkan, beberapa diantaranya telah mendiami rumah tersebut sejak beberapa generasi. Begitu banjir melanda, masyarakat yang tinggal di sana akan mengungsi. Setelah banjir usai, mereka akan kembali ke rumahnya. Berulang kali, mereka telah diberi peringatan agar tidak membangun rumah tinggal di sana, selain membahayakan penghuni rumah dan lingkungan yang kurang baik bagi kesehatan. Tetapi mereka tetap berdiam di sana, tidak berminat untuk pindah.

Untuk mengatasi hal tersebut, beberapa pengelola apartemen diharuskan untuk membangun rusunami, rumah susun murah dengan harga terjangkau. Tetapi, tetap saja harganya tidak terjangkau oleh masyarakat yang saat ini bermukim di tepi bantaran sungai.

Banjir di Jakarta akan melumpuhkan sektor ekonomi. Beberapa ruas jalan yang saat ini sudah mengalami kerusakan, kondisinya akan bertambah parah apalagi jika genangan air di ibukota yang tidak kunjung surut selama beberapa hari.

Jakarta, ibukota negara kita, akan tenggelam oleh banjir pada tahun 2012. Hal ini membuat hatiku galau dan prihatin. Apalagi aku pernah mengalami sendiri peristiwa banjir ini pada dua periode sebelumnya.

Sebelum banjir pada tahun 2002, kawasan perumah tempat dimana aku tinggal tidak terkena banjir. Kini, bila musim penghujan telah tiba, tak jarang pada malam hari, aku terbangun dari tidurku, hanya untuk melihat seberapa tinggi debit air di selokan depan rumahku. Kejadian banjir membuatku sedikit trauma ketika musim penghujan tiba.

Pada awal bulan Februari 2002, aku sedang terlelap dalam tidurku. Di antara mimpiku, tiba-tiba aku mendengar teriakan ibuku “banjir... banjir...” Dengan kondisi mata yang masih memerah, aku terbangun dari tidurku, bergegas untuk turun dari kamar atas. Begitu sampai di lantai bawah, aku tercengang tanpa bisa berkata apa-apa. Ini adalah kenyataan, bukan mimpi. Ketika melihat air tiba-tiba menyembur dari sisi-sisi lantai keramik. Kejadiannya begitu cepat, dalam hitungan beberapa menit, rumahku terendam air banjir sekitar 2 cm.

Memang, banjir di rumahku tidaklah setinggi banjir yang melanda kawasan ibukota lainnya, seperti yang kusaksikan melalui layar kaca. Tetapi, yang namanya banjir, tetap saja bikin stres dan repot kami sekeluarga. Pada dinihari itu, kami terpaksa bekerja keras untuk memindahkan beberapa barang yang masih dapat diselamatkan dari banjir ke lantai atas. Kami tidak menyangka kalau pada dinihari tersebut, akhirnya rumah kami kebanjiran juga.

Banjir juga tidak kunjung surut. Ketinggian air di dalam rumah justru bertambah beberapa sentimeter hingga akhirnya menyusut hingga kembali ke posisi 2 cm. Akhirnya, aku memutuskan untuk mengungsi ke rumah nenek untuk sementara waktu. Aliran listik padam, persediaan bahan makanan yang makin menipis, dan akses jalan keluar untuk mengungsi lebih sulit karena genangan air di depan rumahku mencapai ketinggian sekitar lutut orang dewasa. Aku bersama ibu dan adikku mengungsi dengan membawa beberapa surat penting yang belum sempat disimpan di safe deposit box, uang, telepon genggam, dan beberapa helai baju ganti.


Kejadian pada tahun 2002, kembali terulang pada tahun 2007. Ketika aku bersiap-siap hendak berangkat bekerja, hujan cukup lebat pada pagi hari itu. Berbekal pengalaman kebanjiran pada tahun 2002, aku segera melihat kondisi selokan di depan rumahku, ternyata ketinggian air di selokan, sudah hampir rata dengan tinggi jalan.

Akhirnya, aku segera menelepon atasanku untuk meminta izin tidak masuk bekerja pada hari ini. Ternyata pada siang harinya, jalanan di depan rumahku sudah tergenang air hingga betis orang dewasa. Segera, aku berusaha untuk memindahkan beberapa barang ke lantai atas. Sejak kejadian banjir pada tahun 2002, aku telah menyiapkan beberapa wadah plastik yang cukup besar untuk barang-barang pernak-pernik, sehingga memudahkan untuk dipindahkan ke lantai atas.

Pada sore hari, kondisi air banjir di depan rumahku telah mencapai lutut orang dewasa dan air sudah mulai masuk halaman rumahku. Aku memantau kondisi banjir melalui berita terkini seputar banjir yang melanda ibukota, dari radio dan menonton televisi, sambil berusaha memindahkan barang-barang ke lantai atas. Badan dan kaki sudah penat sekali akibat turun naik tangga berulang kali.

Berbeda dengan banjir pada tahun 2002 di mana air muncul dari permukaan lantai, banjir 2007 datang dari depan rumahku. Begitu aku turun dari lantai atas, setelah memindahkan barang, debit air di dalam rumahku bertambah sedikit demi sedikit, sedemikian cepatnya. Hujan lebat, ditambah kiriman air dari wilayah sekitar Jakarta, berkurangnya tanah serapan, dan lahan hijau, membuat banjir pada tahun 2007 lebih parah.

Pada malam hari, banjir di dalam rumahku mencapai betis orang dewasa dan aliran listrik juga padam, ketika air mulai mengenangi dalam rumahku. Pagi harinya, kami memutuskan untuk kembali mengungsi selama beberapa hari ke rumah nenek. Kami berjalan sambil menerobos air banjir setinggi pinggang orang dewasa di depan rumahku.

Aku terpaksa merelakan beberapa barang terendam banjir. Tempat tidur beserta kasur terendam banjir. Tanaman hias ibuku yang hancur karena teredam air selama beberapa hari. Kulkas yang baru dibeli oleh ibuku sekitar satu bulan yang lalu juga terendam. Untungnya, kulkas masih berfungsi setelah dibersihkan dan dikeringkan.

Dua bulan setelah banjir usai, setelah merapikan rumah yang sempat porak poranda akibat banjir, aku berpikir untuk pindah lokasi rumah. Tetapi ibuku tidak setuju untuk pindah rumah. Menurut ibuku, begitu banyak kenangan indah di rumah ini. Para tetangga sangat ramah dan sudah dianggap sebagai saudara oleh ibuku, ditambah lagi berbagai fasilitas yang tersedia di kawasan perumahan ini. Akhirnya, hingga hari ini, aku masih menempati rumahku yang telah dua kali dilanda banjir.

Beberapa tetanggaku telah meninggikan rumah mereka. Tetapi setelah mempertimbangkan biaya, dana yang dibutuhkan untuk renovasi meninggikan rumah,hampir setara untuk membeli rumah baru di lokasi di pinggiran kota. Akhirnya, kondisi rumahku masih tetap sama seperti dahulu.

Aku mengantisipasi agar tidak terlalu banyak barang di lantai bawah. Aku membeli barang sesuai dengan kebutuhan. Begitu hujan turun deras selama beberapa hari, aku segera memindahkan sebagian barang ke lantai atas.

Pembangunan rumah hunian, apartemen, perkantoran, dan mal yang berjamur di ibu kota, serta peninggian beberapa ruas jalan ikut berperan membuat Jakarta mengalami banjir. Apalagi tanah serapan dan lahan hijau kini semakin berkurang. Ditambah dengan kebiasaan masyarakat yang masih saja membuang sampah sembarangan.

Sebagai warga ibukota, yang lahir dan besar di Jakarta, aku berharap agar pada tahun 2012, Jakarta tidak akan tenggelam oleh lautan air. Banjir Kanal Timur yang sebenarnya telah dirancang sejak jaman kolonialisme Belanda dapat selesai tepat waktu dan berfungsi dengan baik. Dan ada pompa otomatis yang membuang kelebihan debit air dari kawasan hunian ke laut.

Masyarakat diharapkan tidak membuang sampah sembarangan, membersihkan selokan, dan mengangkat enceng gondok yang kian menebal di sungai secara berkala. Warga yang tinggal di sekitar bantaran sungai dapat direlokasi oleh pemerintah ke daerah yang layak huni. Aku berharap di suatu masa, sungai Ciliwung dapat menjadi obyek wisata seperti halnya sungai di negara lain.

Harapanku sebagai warga Jakarta, pada tahun 2012, Jakarta tidak akan tenggelam oleh banjir. Apakah harapanku akan terwujud? Hanya waktulah yang akan membuktikannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar